Tahun ke-21 di sekolah, terasa begitu berbeda. Bukan karena kurikulum yang berubah, atau karena guru baru yang datang, melainkan karena aku sendiri. Aku memutuskan untuk menjadi orang yang tak berguna, setidaknya di mata orang lain. Sebuah eksperimen sosial, mungkin? Atau hanya sekadar keinginan untuk melihat reaksi orang sekitar?

Awalnya, mudah. Aku hanya perlu malas-malasan. Tidak mengerjakan tugas, bolos kelas, berpakaian acak-acakan. Aku membiarkan rambutku tumbuh lebat dan kusut, dan jarang mandi. Sikap apatisku menjadi tamengku. Pertanyaan dari teman-teman? Aku jawab dengan acuh tak acuh, atau bahkan cuek sama sekali. Guru menegur? Aku hanya menatap mereka dengan tatapan kosong.

Reaksi teman-teman beragam. Ada yang kasihan, ada yang mengolok-olok, ada juga yang mengabaikan. Aku mengamati semuanya dengan tenang, seperti peneliti yang mengamati subjek penelitiannya. Sejujurnya, ada sedikit kepuasan yang kurasakan saat melihat perubahan ekspresi mereka.

Namun, semakin lama, eksperimen ini terasa berat. Aku bukannya tidak peduli, aku hanya pura-pura tidak peduli. Di balik sikap acuh tak acuhku, tersimpan rasa takut, kegelisahan, dan pertanyaan tentang jati diriku sendiri. Apakah aku memang sebaik yang kulihat di mata orang lain? Apakah aku memang seupaya yang kurasakan di hatiku?

Gambar seorang siswa yang terlihat lesu dan acuh tak acuh di sekolah.
Kehidupan Sekolah yang Dipura-pura Tak Berguna

Suatu hari, aku mendapati diriku sendirian di perpustakaan. Bukan karena bolos kelas, melainkan karena aku ingin mencari ketenangan. Di tengah deretan buku-buku yang berdebu, aku menemukan sebuah buku tentang filsafat. Buku itu membicarakan tentang makna hidup, tentang tujuan, dan tentang pencarian jati diri.

Aku membaca buku itu sampai larut malam. Aku merenungkan kata-kata yang tertulis di dalamnya. Aku menyadari bahwa eksperimen yang kulakukan selama ini salah besar. Pretensi menjadi orang yang tak berguna tidak membuatku bahagia, melainkan justru membuatku semakin terpuruk. Aku mulai merasa hampa dan kesepian.

Mencari Makna

Aku sadar, pura-pura tak berguna tak lantas menjadikan kita tak berguna. Itu hanya kamuflase dari masalah yang sebenarnya. Yang kurasakan adalah ketakutan akan kegagalan, dan ketidakmampuan untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Ketakutan yang sebenarnya telah membelenggu diriku selama ini.

Perlahan-lahan, aku mulai mengubah sikapku. Aku mulai mengerjakan tugas-tugas sekolah, meskipun hasilnya masih belum sempurna. Aku mulai berinteraksi dengan teman-teman, meskipun masih canggung. Aku mulai memperhatikan penampilan, meskipun belum sebersih dan serapi siswa lain.

Gambar seorang siswa yang sedang belajar dengan tekun.
Perubahan Sikap dan Perjuangan

Prosesnya tidak mudah. Banyak rintangan yang harus kuhadapi. Ejekan, cibiran, dan pandangan sinis masih sering kutemui. Namun, aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Aku fokus pada tujuan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Aku belajar untuk menerima diriku apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan. Aku belajar untuk menghargai diri sendiri, meskipun terkadang aku masih merasa tidak berharga. Aku belajar untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil.

Eksperimen menjadi orang yang tak berguna telah mengajariku banyak hal. Aku belajar tentang arti pentingnya kejujuran, kedisiplinan, dan kerja keras. Aku belajar tentang pentingnya menghargai diri sendiri dan orang lain. Yang terpenting, aku belajar untuk menemukan makna hidupku sendiri.

Pelajaran Berharga

Sekolah bukanlah hanya tentang nilai akademis. Sekolah adalah tempat kita belajar tentang kehidupan, tentang interaksi sosial, dan tentang pencarian jati diri. Pengalaman menjadi orang yang tak berguna – walau hanya pura-pura – telah membuatku lebih dewasa dan bijak.

Kini, di tahun ke-21 di sekolah ini, aku telah menemukan jalan yang benar. Jalan menuju kebahagiaan dan kesuksesan. Bukan dengan berpura-pura tak berguna, tetapi dengan menjadi diri sendiri yang terbaik. Proses ini masih panjang, tetapi aku yakin, aku akan berhasil.

Gambar seorang siswa yang bahagia saat kelulusan.
Menuju Masa Depan yang Lebih Baik

Perjalanan selama ini, pengalaman pura-pura tak berguna, telah menorehkan pelajaran berharga. Aku belajar untuk mencintai diri sendiri, menghargai proses, dan berdamai dengan kelemahanku. Dan yang pasti, pengalaman ini membuatku lebih menghargai arti sebuah persahabatan dan dukungan.

Kisah “my school life pretending to be a worthless person 21” ini bukan hanya sekadar cerita, tetapi juga refleksi diri. Semoga cerita ini menginspirasi pembaca untuk selalu intropeksi diri dan menemukan jati dirinya.